Pluralisme yang Tergadaikan (?)
Indonesia dikenal sebagai Negara yang sangat plural, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Tahun 2010, Indonesia memiliki keragaman suku, yakni sekitar 1.128 suku bangsa, memiliki keragaman kebudayaan (sebagai konsekuensi dari keragaman suku bangsa) dan memiliki keragaman agama (Data BPS,2010).
Kata Plural secara etimologi berasal dari bahasa Inggris „plural‟ yang memiliki arti banyak atau majemuk. Berdasarkan kamus Oxford Learner’s Pocket Dictionary dijelaskan bahwa “plural (form a word) used of referring to more than one” (Oxford University, 1999:329). Kata plural secara etimologi berarti banyak, jamak, dan beraneka ragam (Pena, 2006:376) merupakan kata dasar yang membentuk kata pluralitas dan pluralisme. Pluralitas adalah keanekaragaman dalam suatu masyarakat yang mengakui ada hal yang lain di luar kelompoknya. Adapun pluralisme merupakan suatu sikap yang mengakui sekaligus menghargai dan mengembangkan keadaan yang bersifat plural (Ma‟arif, 2005 : 12). Jika secara bahasa pluralisme menunjukkan kuantitas lebih dari satu, maka secara istilah pluralisme dimaknai sebagai suatu kondisi atau keadaan sikap saling menghargai atau menghormati, memelihara, mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak, atau banyak (Naim & Syauqi, 2008:75). Satu hal yang perlu diingat bahwa pluralisme merupakan sikap aktif, yakni aktif mengupayakan terciptanya kondisi yang positif dalam menyikapi perbedaan. Sebagaimana digambarkan oleh Diana Eck (dikutip oleh Bagir, 2011: 29) bahwa pluralisme bukan sekedar penerimaan keragaman, tapi pluralisme merupakan sesuatu yang aktif. Pluralisme menurut Bagi Diana Eck sekedar toleransi tidak cukup, pluralisme menuntut “engagment with diversity”.
Gerakan ataupun kegiatan yang "di-atasnamakan" ataupun "meng-atasnamakan" pluralisme adalah gerakan yang bukan hanya menerima perbedaan/keberagaman tapi juga melakukan gerakan atau kegiatan untuk menciptakan kondisi yang mampu menyikapi perbedaan dengan baik. Gerakan ini dapat dengan mudah kita temukan di masyarakat, dan dari sekian banyak gerakan yang ada sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua macam saja, yaitu gerakan yang didasari oleh idealisme atau yang saya sebut sebagai "Gerakan Ikhlas" dan gerakan yang didasari oleh pamrih atau yang saya sebut sebagai "Gerakan Pamrih ". Gerakan Ikhlas cenderung dilakukan oleh orang-orang yang telah "selesai" dengan konsep perbedaan, artinya benar-benar tidak mempermasalahkan perbedaan yang ada, baik perbedaan atas dasar suku bangsa, maupun atas dasar agama. Gerakan pluralis atau keberagaman dilakukan berdasarkan pada pemikiran bahwa merawat keberagaman adalah kewajiban moral bagi setiap warganegara Indonesia agar keindahan toleransi dalam keberagaman dapat juga dirasakan dan dinikmati oleh generasi bangsa selanjutnya. Melakukan kegiatan apapun selama memiliki tujuan merawat kebhinnekaan bukan hal yang berat atau bukan beban, sehingga sumbangsih tenaga, fikiran, ataupun materi merupakan hal yang lumrah dan bukan beban. Ini terjadi karena yang menggerakkan adalah hati yang ikhlas tanpa pamrih.
Sementara Gerakan Pamrih cenderung dilakukan oleh mereka yang (sesuai namanya) belum ikhlas atau pamrih, dan juga oleh mereka yang "belum selesai dengan perbedaan", artinya sikap atau perilaku toleran masih setengah hati, setengah hati menerima/mengakui perbedaan, tapi setengah hati lainnya menolak atau tidak dapat menerima perbedaan. Sikap ini biasanya tampak dalam menyikapi perbedaan agama. Selain itu, gerakan ataupun kegiatan juga dilakukan atas dasar pamrih, misalnya : karena ada "proyek" yang (mau tidak mau/terpaksa) harus dilaksanakan; karena ada uang; karena dibayar; atau yang sejenisnya. Gerakan Pamrih ini menurut saya dapat menodai gerakan yang bertujuan mulia yaitu merawat kebhinnekaan dan dapat "menggadaikan" pluralisme.
Siti FS
Rabu, 19 Januari 2022
Referensi yg digunakan :
Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia, 2010, Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk IndonesiaMarsen, Martin H, Oxford Leaner‟s Pokcet Dictionary, (Oxford University, 1999), Third Edition.Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008)Syamsul Ma‟arif, 2005, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, Jogjakarta: Logung Pustaka.Tim Prima Pena. 2006. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Gitamedia Press
Zainal Abidin Bagir, 2011, Pluralisme Kewargaan: dari Teologi ke Politik dalam Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia, (Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Penerbit Mizan).
Komentar
Posting Komentar